Minggu, 30 Januari 2011

MENKES CANANGKAN TAHUN PENCEGAHAN CACAT AKIBAT KUSTA

Bertepatan dengan peringatan Hari Kusta Sedunia ke 58 tahun 2011, Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih mencanangkan Tahun Pencegahan Cacat 2011. Tujuannya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan seluruh stakeholder untuk membantu mencegah kecacatan akibat kusta. Kegiatan tahun pencegahan cacat mengarah pada petugas kesehatan untuk dapat mendeteksi dan menangani kusta dengan benar, agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut. 

Di Indonesia, tercatat 19 provinsi telah mencapai eliminasi kusta dengan angka penemuan kasus kurang dari 10 per 100.000 populasi, atau kurang  dari 1.000  kasus per tahun. Sampai akhir 2009 tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia dan telah diobati. Saat ini tinggal 150 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi. 

Sebanyak 1.500-1.700 (10%) kasus kecacatan tingkat II ditemukan setiap tahunnya. Sekitar 14.000 (80%) adalah kasus kusta MB, sedangkan sekitar 1500-1800 kasus merupakan kasus pada anak.  

Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan regimen Multy Drug Therapy (MDT) sebagai pengobatan kusta. Sejumlah negara telah melaksanakan pengobatan MDT dan mencapai hasil memuaskan. Lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan. Dari jumlah itu lebih 1 juta penderita yang diselamatkan dari kecacatan.

Berdasarkan keberhasilan tersebut, pada World Health Assembly (Sidang Kesehatan Sedunia-WHA) Mei 1991 dikeluarkan Resolusi No. 44.9 tentang Eliminasi Kusta Tahun 2000. Eliminasi yaitu menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk dengan strategi penemuan penderita secara dini dan mengobati dengan tepat. 

Tujuan penanggulangan kusta di Indonesia adalah mencapai PR (Prevalens Rate) kurang dari 1 per 10.000 penduduk di semua kabupaten, dan kesinambungan program kusta di seluruh wilayah. Ditempuh melalui kebijakan deteksi dini kasus kusta dan pengobatan dengan MDT, mencegah kecacatan, mengubah image (pandangan) masyarakat luas dan menjamin ketersediaan dan kualitas obat kusta (MDT).

Obat MDT diberikan secara gratis  di Puskesmas. Dosis pertama harus diminum di depan petugas puskesmas dan untuk selanjutnya obat diminum sesuai petunjuk dalam blister.

Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan panduan operasional “Global Strategy for Further Reducing the Leprosy Burden and Sustaining Leprosy Control Activities (2006 - 2010)”. Tujuannya untuk menurunkan lebih lanjut beban penyakit kusta dan mempertahankan kesinambungan kegiatan pemberantasan kusta sebagai acuan bagi negara-negara yang masih mempunyai masalah dengan penyakit ini. 

Tahun 2009, WHO mengeluarkan panduan operasional “Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due to Leprosy  (2011 - 2015)” . Dalam panduan tersebut ditetapkan target angka cacat yang kelihatan (Cacat 2) per 100.000 penduduk turun 35 % di tahun 2015 dari data tahun 2010. 

Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lainnya. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, maka akan menimbulkan kecacatan menetap. 

Kusta bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, makanan, atau penyakit keturunan seperti yang masih banyak timbul anggapan di masyarakat. Penularan dapat terjadi karena kontak lama antara penderita kusta yang tidak diobati kepada orang yang sehat melalui pernapasan.

Tidak semua orang serta merta tertular kusta begitu kontak dengan penderita. Secara statistik hanya 5% saja yang akan tertular. Dapat dikatakan penyakit kusta adalah penyakit menular yang paling rendah penularannya. Kemungkinan anggota keluarga dapat tertular, jika penderita tidak minum obat secara teratur. 

Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk percepatan eliminasi kusta diantaranya dengan penemuan penderita secara aktif, membantu provinsi dan kabupaten dalam memberantas penyakit kusta dengan menempatkan konsultan lokal/Nasional yang berdomisili di Bandung, Surabaya, Palembang, Aceh, Samarinda, Makasar, Manado dan Jayapura dan konsultan Internasional yang berdomisili di Pusat serta melakukan kegiatan rehabilitasi. 

Penetapan Hari Kusta (Leprosy Day) diorganisir oleh seorang wartawan berkebangsaan Perancis bernama Raoul Fallereau. Selama 30 tahun Raoul Fallereau (RF) mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan nasib penderita kusta. RF berjuang untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat. Pada tahun 1955, terdapat 150 radio dari 60 negara yang menyiarkan kampanye pemberantasan penyakit kusta. Peristiwa ini terjadi pada hari Minggu terakhir bulan Desember 1955. Karena itu di Eropa, Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) ditetapkan hari Minggu terakhir Desember.

Sedangkan di negara-negara Asia, untuk mengenang jasa-jasa Mahatma Gandhi yang sangat menaruh perhatian dan besar jasanya kepada penderita kusta, Hari Kusta Sedunia ditetapkan pada Minggu terakhir Januari saat terbunuhnya Mahatma Gandhi.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Rabu, 26 Januari 2011

PELUNCURAN PERDANA PROGRAM PELATIHAN PENYULUHAN KESEHATAN KULIT BAGI KADER POSYANDU

Hasil Riskesdas 2007 Badan Litbangkes Kemkes menunjukkan bahwa prevalensi nasional kasus Dermatitis adalah 6,8%. Ada 14 provinsi yang mempunyai prevalensi di atas prevalensi nasional, termasuk DKI Jakarta. Berdasarkan angka prevalensi tersebut, dianggap perlu untuk dilakukan penanganan penyakit Dermatitis oleh masyarakat - khususnya oleh Kader Posyandu.

“Pelatihan ini sangat relevan bagi Kader Posyandu, karena pengunjung Posyandu adalah para ibu, sehingga Kader Posyandu dapat meneruskan pengetahuan dan keterampilannya kepada para ibu. Selanjutnya ibu dapat berperan meningkatkan kesehatan kulit bagi dirinya dan keluarganya di rumah”, jelas Menkes .      

Menkes menyambut baik pelatihan yang difasilitasi oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit anggota Pehimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) dibantu jajaran Puskesmas.

Menkes menjelaskan, salah satu masalah yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah kesenjangan dalam pelayanan kesehatan antar daerah, antar tingkat sosial ekonomi, dan antar kelompok masyarakat. Untuk menyikapi masalah ini Kemkes pada periode 2010-2014 melakukan terobosan dengan melaksanakan Reformasi Pembangunan Kesehatan Masyarakat yang terdiri dari 7 upaya, yaitu Revitalisasi pelayanan kesehatan dasar dan sistem rujukannya serta pemenuhan Bantuan Operasional Khusus (BOK), Ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan, Ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin dan alat kesehatan, Jaminan kesehatan, Keberpihakan pada Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), Reformasi birokrasi, dan World Class Health Care. Terobosan ini dimaksudkan untuk meningkatkan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan yang bermutu agar tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Salah satu misi Kementerian Kesehatan 2010-2014 adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan, karena masyarakat harus mampu dan mau memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri. Sedangkan Pemerintah bertanggung-jawab mendorong dan menfasilitasi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, ujar Menkes. 

“Posyandu adalah salah satu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang merupakan Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) dan  yang dikelola serta diselenggarakan dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat”, jelasnya.

Revitalisasi Posyandu merupakan program prioritas dalam periode 2009-2014.  Posyandu sangat berperan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan dan  perkembangan Posyandu menunjukkan hasil yang menggembirakan. Jumlah Posyandu meningkat dari sekitar 232.000 pada tahun 2004 menjadi sekitar 267.000 pada tahun 2007 dan 269.655 pada tahun 2010. Menurut hasil Riskesdas 2010, sebanyak 75,2% balita ditimbang minimal sekali dalam 6 bulan dan 80,6% ditimbang di Posyandu.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Indikator Pencapaian Luaran Pemberdayaan Masyarakat dan Promosi Kesehatan 2010 - 2014


Rabu, 19 Januari 2011

Saatnya Peringatan Bahaya Merokok Berbentuk Gambar pada Bungkus Rokok

Peringatan Kesehatan berbentuk gambar adalah bentuk informasi dan edukasi kesehatan tentang dampak produk yang dikonsumsi, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya.

Peringatan kesehatan di bungkus rokok bukan hal yang bari bagi Indonesia dan telah diterapkan dalam bentuk tulisan sejak tahun 1999 melalui PP No. 8/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Sesungguhnya pemerintah memberikan informasi tertulis terbukti tidak efektif, Studi PPK UI tahun 2007 menunjukkan sebanyak 43% masyarakat tidak memperdulikan isi peringatan, karena tidak terbukti 26%, tidak termotivasi berhenti merokok 20%, mengatakan tulisan terlalu kecil dan tidak terbaca.
Perokok remaja usia 15-19 tahun meningkat 150% selama periode tahun 2001-2007 walaupun telah diberi peringatan kesehatan secara tertulis, bahkan perokok usia 10 – 14 tahun naik hampir dua kali lipat selama periode yang sama. Dampak sosial yang yang harus dibayar cukup tinggi ketika sebuah generasi dibiarkan kecanduan rokok.
Seminar “PERINGATAN KESEHATAN BERBENTUK GAMBAR- di Hotel Grand Melia, 11 Januarai 2011 Mendorong Kemandirian untuk Hidup Sehat”-adalah kerjasama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dengan South East Asean Tobacco Control Asosiation (SEATCA) dalam rangka memaparkan kisah sukses beberapa negara ASEAN dalam menerapkan kebijakan Pictorial Health Warning (PWH) di negaranya - demikian disampaikan oleh Bambang Wispriyono, PHD sebagai Dekan FKM UI.
Seminar dibuka oleh Dr. Emil Agustiono, M.Kes (Deputy Bidang Koordinasi Kependudukan, Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Kantor Menko Kesra dan penyajian utama : “Peringatan kesehatan bergambar bentuk pendidikan masyarakat yang murah dan efektif” oleh Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama.
Mengapa perlu Peringatan Kesehatan Berbentuk Gambar di bungkus rokok?
Dr. Domilyn C. Vilarreiz dari SEATCA mengungkapkan bahwa kemasan rokok telah dibuat sedemikian rupa menariknya untuk dapat menjadi iklan berjalan bagi rokok tersebut. Peringatan hanya dalam bentuk tulisan saja ternyata tidak dapat memberikan efek jera bagi para perokok sehingga dibentuklah kebijakan bersama pemerintah untuk meletakan gambar yang bersifat jera pada bungkus rokok tersebut. Gambar penyakit akibat merokok yang menyeramkan diletakkan dengan komposisi 50% atau lebih di bagian atas bungkus rokok secara bolak balik. Diharapkan dengan adanya komunikasi visual yang menyeramkan, dapat menjadi shock therapi bagi para perokok sehingga bungkus rokok bukan lagi kebanggaan bagi mereka.
Sementara itu dr. Anie Rahman dan dr. Zariah Zain dari Kementerian Kesehatan Brunei Darussalam dan Malaysia menceritakan kisah sukses mereka menerapkan kebijakan Pictorial Health Warning pada bungkus rokok di negara mereka. Satu hal yang dapat diambil dari kisah sukses di kedua negara itu adalah komitmen di level tinggi negara untuk dapat menyelamatkan bangsa dari bahaya tembakau.
Terakhir Prof.dr. Harkristuti Harkrisnowo,SH, MA, Direktur Jenderal Hak Azasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, memaparkan keberpihakan Kementerian Hukum dan HAM pada Hak-hak Kesehatan para perokok pasif. Diharapkan bahwa untuk menegakan hak-hak kesehatan tersebut perlu didukukng lobi yang kuat di jajaran DPR, Partai Politik dan Kementerian.
Sebagai kunci penutup, disepakati oleh peserta seminar bahwa sudah saatnya Indonesia menerapkan Peringatan Kesehatan Berbentuk Gambar pda bungkus rokok yang dijual di Indonesia.

Promosi Kesehatan dan Edukasi bahaya Merokok
Dengan dukungan media cetak, elektronik dan edukasi, sebenarnya Promosi Kesehatan telah mengambil langkah-langkah dengan membentuk pedoman Kawasan Tanpa Rokok, Iklan Layanan Masyarakat tentang bahaya Merokok dan beberapa media cetak dengan informasi yang sepadan tentang bahaya Merokok pada masyarakat

Berita ini disiarkan oleh : Pusat Promosi Kesehatan

MENKES BEBERKAN PROGRAM PRIORITAS KEMENKES 2011

Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR-RI tanggal 18 Januari 2010 di Jakarta, Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH, selain memaparkan evaluasi Kinerja Tahun 2010 juga membeberkan 5 prioritas program pembangunan kesehatan Tahun 2011.
Dalam Raker yang juga dihadiri para pejabat Eselon I dan II tersebut, Imam Soeroso dari Fraksi PDIP menanyakan penyakit yang diderita dr. Endang Rahayu Sedyaningsih. Pertanyaan ini langsung memancing interupsi Dhiana Anwar dari Fraksi Partai Demokrat (FD) yang menyatakan anggota FD akan walkout bila dalam Raker membahas hal-hal pribadi. “ Interupsi Ketua, mohon maaf Ibu Endang ke sini mewakili pemerintah, jangan sangkut pautkan dengan masalah pribadi”, ucap Dhiana.
Menurut Menkes, sesuai Perpres No. 29 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011, terdapat 5 kebijakan program prioritas. Pertama, pelaksanaan program kesehatan preventif terpadu yang meliputi pemberian imunisasi dasar, penyediaan akses sumber air bersih dan akses terhadap sanitasi dasar berkualitas, penurunan tingkat kematian ibu, serta tingkat kematian bayi. Kedua, Revitalisasi progam KB melalui peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB. Ketiga, peningkatan sarana kesehatan melalui penyediaan dan peningkatan kualitas layanan rumah sakit berakreditasi internasional.Keempat, peningkatan ketersediaan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial generik. Kelima, Universal coverage (cakupan pembiayaan kesehatan untuk semua penduduk).
Ditambahkan, untuk mendukung program tersebut Kementerian Kesehatan memperoleh anggaran sebesar 27,6 Triliun yang diperuntukkan pada 8 program, yaitu : Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Kemenkes Rp. 2,81 Triliun; Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur Kemenkes Rp. 88 Milyar; Bina Gizi dan KIA Rp. 1,87 Triliun; Pembinaan Upaya Kesehatan Rp. 16,47 Triliun; Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Rp. 1,62 Triliun; Kefarmasian dan alat kesehatan Rp. 1,45 Triliun; Penelitian dan pengembangan kesehatan Rp. 540 Milyar; Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan Rp. 2,78 Triliun.
Sedangkan anggaran prioritas pada tahun 2011 meliputi : Jamkesmas sebesar Rp. 5,125 Triliun; Jampersal sebesar Rp. 1,223 Triliun; Bantuan Operasional sebesar Rp. 904 Miliar; Gaji, termasuk untuk PTT sebesar Rp. 3,929 Triliun; Dana Pendidikan sebesar 1,924 Triliun; Dana Dekonsentrasi sebesar Rp. 798 Miliar; Dana Tugas Pembantuan sebesar Rp.2,981 Triliun; Obat dab Vaksin sebesar Rp. 1,22 Triliun; Riset Fasilitas Kesehatan sebesar Rp.147 Miliar, ujar Menkes.
Selanjutnya Menkes menegaskan, dalam upaya mengantisipasi berbagai tantangan yang terjadi, maka pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan telah menyusun 7 kegiatan unggulan.
  1. Revitalisasi pelayanan kesehatan. Komponen penunjang kegiatan ini adalah Peningkatan sarana prasarana kesehatan rujukan: 450 RSUD Provinsi/Kab/Kota, Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar di 397 kab/kota.
  2. Ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu SDM yang teriri dari Beasiswa/Tugas Belajar: pendidikan dokter spesialis sebanyak 1.040, Pendayagunaan dokter residen akhir sebanyak 1.550 orang, Pengangkatan tenaga PTT: dokter 4.543 (naik 59% dari 2010), drg 1.344 (naik 58% dari 2010), bidan 30.901 (naik 8% dari 2010).
  3. Ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin, alkes. Kegiatan ini terdiri dari bantuan buffer stock obat/instalasi farmasi di 476 Kab/Kota, terlaksananya tahap pertama pengobatan dgn Jamu di 60 Puskesmas dan 12 RS, dan 115 kab/kota melakukan E-logistic obat.
  4. Kegiatan unggulan selanjutnya adalah Jaminan Kesehatan Untuk 76,4 juta penduduk miskin disertai peningkatan/perluasan kelas III di 93 RS dan peningkatan 85 RS Fasilitas kesehatan yang menangani Jamkes sehingga total menjadi 1.100 RS.
  5. Inovasi terbaru yang dilakukan pada tahun 2011 adalah Jaminan Persalinan berupa penyediaan alokasi anggaran untuk paket persalinan dgn sasaran 2,5 juta ibu hamil di seluruh Indonesia diharapkan mampu mempercepat pencapaian angka kematian Ibu dan bayi di Indonesia.
  6. Keberpihakan pada Daerah Terpencil, Perbatasan, Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), kegiatan ini terdiri dari Flying health care di provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat; peningkatan sarana prasarana di 99 Puskesmas dan jaringannya di daerah perbatasan;dan penempatan tenaga kesehatan di DTPK sebanyak 2.445 orang. Peningkatan bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Provinsi Maluku dan Malut, senilai Rp 200 juta/Puskesmas/tahun; Provinsi NTB, NTT, Papua, Papua Barat, senilai Rp 250 juta/Puskesmas/tahun.
  7. World Class Health Care, telah ada 3 Rumah Sakit yang lulus akreditasi internasional dari Joint Commite International (JCI). Pada tahun 2011 disiapkan 3 RS Pemerintah untuk akreditasi JCI, yaitu RSCM, RS Sanglah dan RSPAD Gatot Subroto. Disamping itu akan dilakukan penyempurnaan sistem akreditasi dengan ISQUA (International Society for Quality in Health Care) serta Peningkatan bantuan akreditasi RS publik di wilayah Indonesia Timur sebanyak 66 RS.
Alokasi BOK
Menkes menambahkan, pada tahun 2011, telah dialokasikan dana BOK sebesar 904.250 Milyar, yang diperuntukkan pada2.271 Puskesmas di Pulau Sumatera dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 75 juta; 3.617 Puskesmas di Pulau Jawa-Bali dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 75 Juta; 836 Puskesmas di Pulau Kalimantan dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 100 Juta; 1.126 Puskesmas di Pulau Sulawesi dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 100 juta; 256 Puskesmas di Pulau Maluku dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 200 juta; 458 Puskesmas di NTT dan NTB dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 250 juta; 403 Puskesmas di Papua dengan besaran alokasi per puskesmas sebesar Rp. 250 juta.
Selain itu, untuk beberapa kabupaten/kota yang alokasi anggaran manajemennya di bawah 50 juta, diberikan tambahan dengan total anggaran sebesar Rp. 305 juta.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI